Wednesday 10 April 2013

Hukum memberi maaf dalam hudud



Diriwayatkan dari Aisyah, bahawapada suatu hari orang-orang quraisy ingin membebaskan seorang wanita suku Makhzumiyah yang terbukti telah mencuri dari hukuman potong tangan. Lalu sebahagian di antara mereka berkata: siapakah yang akan kita ajukan untuk melobi rasulullah s.a.w? Yang lain menjawab: sepertinya tidak ada yang lain kecuali Usamah bin Zaid, sahabat kesayangan Rasulullah s.a.w. Singkat cerita itu, Usamah pun cuba mendekati Nabi dan memberanikan diri untuk menyampaikan maksud kedatangannya iaitu meminta “ampunan” untuk perempuan yang telah mencuri tersebut. Permintaan Usamah tersebut dijawab oleh Nabi s.a.w: “Wahai Usamah,apakah kamuingin merubah ketetapan Allah dengan meminta ampunan dalam hudud? Lantas Nabipun berdiri dan berpidato:

“Orang-orang sebelum kamu itu binasa dan celaka hanyalah kerana apabila yang mencuri diantara mereka orang yang terhormat mereka memaafkannya dan tidak memberikan hukuman apa-apa kepadanya.Tapi bila yang mencuri itu orang yang lemah dan rendah merekapun menghukumnya. Demi Allah, kalau seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri aku akan memotong tangannya!” (Riwayat Bukhari Muslim dan perawi-perawi yang lain)

Pelajaran yang dapat diambil dari haddis diatas adalah bahawa seorang hakim tidakdibenarkan mengabulkan permohonan ampun atas haddd yang akan dilaksanakan sebagaimana akan datang keterangannya. Demikian juga seseorang tidak boleh memujuk hakim agar memberi ampunan untuk orang yang akan menjalani haddd allah bila kesnya sudah sampai ketangan hakim. Aturan ini disepakati oleh seluruh ulama. Adapun jika kesnya belum diangkat kehadddapan hakim, maka seseorang diharuskan memberi maaf atau ampunan kepada sesamanya dengan syarat orang yang akan diberi maaf bukan orang yang sudah terbiasa dan terkenal sebagai penjahat. Bila demikian adanya, ertinya ia terkenal dengan kejahatannya, maka tidak diharuskan memberinya maaf atau ampunan. Ia malah wajib diajukan kehadddapan hakim untuk diproses atau dijatuhi hukuman.

Sebagai contoh, seseorang yang terbukti telah mencuri sesuatu tapi sebenarnya ia tidak terbiasa mencuri dan pada saat itu hanya tergelincir serta khilaf. Dan apabila diduga jika dimaafkan sekali ini, maka ia akan sedar dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Maka orang seperti ini boleh dimaafkan dan ditoleransi oleh korban. Sehubungan dengan ini, banyak terdapat haddis Nabi s.a.w. antara lain haddis yang diriwayatkan oleh ad-daruqutni dari Rasulullah s.a.aw, beliaubersabda:

“Berilah maaf (kepada yang menzalimimu) selama masalahnya belum diangkat ke wali (hakim). Tapi bila telah sampai ke wali, lau dimaafkan maka Allah tidak akan memaafkannya.”

Sunat hukumnya orang yang teraniaya memberikan ampunan kepada orang yang menganiayanya dihadddapan hakim selama kesnya bukan kejahatan yang wajib menjalani hukuman haddd atau kes yang memang harus diberi hukuman seperti memaafkan pemelihara anak yatim yang zalim atau orang yang lari dari tanggungjawab memberikan nafkah orang-orang yang telah menjadi tanggungannya. Memaafkan orang-orang seperti ini hukumnya adalah haram.
 
Mazhab Syafi’e – memberi maaf pada pelaku kejahatan sebelum permasalahannya sampai ke tangan hakim adalah boleh. Hal ini berdasarkan firman allah s.w.t: “Dan siapa yang memberi safaat yang baik maka ia akan mendapat bahagian dari kebaikannya itu”

No comments:

Post a Comment